Thursday, January 23, 2014

An Afternoon on Kapuas River

Sejak pertama kali mendengar tentang adanya kapal wisata yang menyusuri Sungai Kapuas di Pontianak, Kalimantan Barat, saya langsung tertarik. Waktu kecil saya memang sudah pernah merasakan sensasi mengarungi sungai terpanjang di Indonesia ini, di atas kapal milik ayah. Masih segar dalam ingatan saya, acara makan bersama yang hanya berupa nasi putih dengan lauk sayur kol di atas geladak kapal serasa sedang menyantap menu santapan raja. Luar biasa nikmat. Yang mungkin mendekati pengalaman kuliner berharga tersebut adalah ketika bersama teman-teman menyantap mie instant rebus di tengah suhu dingin Puncak.

Jadi river cruise kali ini akan sedikit banyak membawa nostalgia. Tetapi ternyata untuk menikmati kembali kenangan indah di atas sungai ini tidak sesederhana yang saya bayangkan. Saya sampai harus menyambangi area alun-alun di tepi sungai untuk naik kapal ini tiga kali. Kali pertama, agenda ini saya batalkan karena kapal sedang sepi penumpang. Mungkin dalam hati Anda bertanya, tujuan saya naik kapal ini sebenarnya untuk people watching atau bagaimana? Kok harus batal naik hanya karena penumpang sepi? Begini, mungkin atas dasar efisiensi biaya operasional, kapal tidak akan berangkat sampai kuota minimal 30 penumpang terpenuhi. Kalau di akhir pekan, kuota tersebut naik menjadi 40-50 penumpang. Berhubung waktu itu tidak ada penumpang satupun, dan pengunjung alun-alun pun sangat sedikit, mungkin saya harus menunggu berjam-jam sampai penumpang kapal mencapai kuota minimal. Karena alasan inilah saya akhirnya membatalkan agenda river cruise saya. Sebenarnya saya bisa saja memcarter kapal untuk saya nikmati sendiri dengan membayar beberapa ratus ribu rupiah, tapi tidak saya lakukan karena kurang sesuai dengan filosofi budget travelling yang saya anut selama ini :) Ongkos normal untuk naik kapal adalah Rp. 10.000 per penumpang.

Kali kedua, saya mencoba mensiasati kendala ini dengan mengunjungi alun-alun di hari Sabtu sore. Ketika sampai di tempat, saya sempat optimis karena melihat pengunjung alun-alun cukup ramai. Tetapi rasa optimisme saya mendapat sedikit tantangan karena ternyata pengunjung alun-alun yang ramai tidak otomatis berarti penumpang kapal juga pasti ramai. Sama sekali belum ada penumpang yang menaiki kapal yang sedang standby. Setelah menunggu lebih dari setengah jam, saya memutuskan untuk ngobrol dengan salah seorang crew kapal. Dari pembicaraan santai inilah akhirnya saya ketahui bahwa peak time atau waktu penumpang kapal yang paling ramai adalah di hari Minggu atau hari libur. Setelah perbincangan singkat ini, saya memutuskan untuk coba menunggu lagi beberapa saat. Tapi kemudian muncul kendala lain, cuaca. Langit Sabtu itu yang memang sedikit mendung mendadak berubah menjadi gelap sebelum akhirnya turun hujan gerimis. Berhubung di alun-alun tidak ada tempat berteduh, dan hujan yang pastinya akan mengganggu agenda travelling di atas sungai sambil foto-foto, saya kembali terpaksa membatalkan niat untuk melakukan river cruise ini. Tapi dalam hati saya sudah bertekad untuk datang kembali besok sore kalau memang cuaca mendukung.

Keesokan harinya, alam semesta seakan-akan mendengar dan mendukung rencana saya. Cuaca Minggu sore itu cukup cerah dan bersahabat. Saya langsung menyambar tas backpack yang sudah saya siapkan dari kemarin dan berangkat ke lokasi. Seperti hari sebelumnya, alun-alun juga dipadati pengunjung. Hanya saja kali ini ada sedikit pemandangan berbeda yang membuat saya bernafas lega. Seperti informasi yang saya dapatkan, kali ini kapal sudah terisi oleh sejumlah penumpang. Saya langsung masuk ke dalam kapal untuk menunggu. Saya memilih posisi tempat duduk di sisi kiri kapal. Tempat duduk di atas kapal ada dua jenis, di bagian tengah kapal diisi kursi dengan sandaran dan meja untuk penumpang yang ingin ikut cruise sambil menyantap makanan. Di atas kapal ini memang terdapat area yang menjual aneka makanan dan minuman. Jenis tempat duduk kedua adalah “bangku bakso” yang disusun di keempat sisi kapal: depan, belakang, kiri dan kanan.






Belum lama saya duduk, masuk rombongan ibu-ibu yang jumlahnya cukup banyak. Berhubung di area dekat tempat duduk saya masing cukup banyak bangku kosong, saya diminta oleh crew kapal untuk pindah ke area depan kapal supaya rombongan ibu-ibu ini bisa menempati area tersebut. No big deal. Malah saya patut bersyukur karena angle untuk mengambil foto lebih luas di area depan kapal. Setelah kuota penumpang yang waktu itu mencapai kurang lebih 50 orang tercapai, kapalpun berangkat. Di awal cruise penumpang kapal disuguhi pemandangan kapal-kapal yang sedang berlayar di sungai sore itu maupun yang sedang standby di tepi sungai. Pemandangan lainnya adalah pemukiman penduduk yang bervariasi antara bangunan yang masih terlihat cukup baru sampai ke bangunan-bangunan lama yang sepertinya sudah layak direnovasi. Pemandangan yang agak istimewa baru terlihat ketika kapal mendekati jembatan Kapuas I. Sinar matahari sore yang melatari jembatan memberikan nuansa tersendiri yang bagi saya merupakan highlight cruise ini. Saya jadi teringat dengan pengalaman naik cruise melintasi Harbour Bridge di Sydney. Beberapa ratus meter setelah melewati jembatan, kapalpun berputar balik untuk kembali ke alun-alun.




Secara keseluruhan, nostalgia menyusuri Sungai Kapuas sore itu cukup berkesan. Saya sangat merekomendasikan kepada siapapun yang belum pernah naik cruise ini untuk mencobanya minimal sekali. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 40 menit ini sama sekali tidak terasa membosankan bagi saya, meskipun sebagai penduduk lokal pemandangan-pemandangan yang saya lihat selama cruise tidak bisa dibilang baru. Jadi jangan lupa untuk mencantumkan agenda ini ke dalam to do list Anda ketika berkunjung ke kota ini. Trust me, it’s a worthwhile experience.

- SW -

Saturday, January 4, 2014

Three Days a Charm in Melbourne

Melbourne adalah ibukota negara bagian Victoria dan merupakan kota terbesar kedua Australia, setelah Sydney. Tapi tentu saja penduduk kota ini tidak akan mengakui kalau kota tercinta mereka kalah penting dibanding Sydney. Saya bahkan pernah baca sebuah artikel di koran lokal Australia yang menuliskan adanya perdebatan bahwa di masa depan Melbourne akan mengambil alih peran Sydney sebagai kota perdagangan utama Australia. Kota ini merupakan kiblat fashion Australia, atau paling tidak begitulah klaimnya. Tapi jangan tanya pendapat orang Sydney tentang Melbourne. Ketika saya memberitahu seorang guru saya di Sydney tentang rencana travelling ke Melbourne dan minta masukan dan sarannya, beliau sempat menyinggung bahwa segala klaim penduduk Melbourne sebagai kota pusat budaya, fashion dan sebagainya overrated alias berlebihan. Kasus perseteruan klasik deh pokoknya  :)

Travelling ke Melbourne memang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari karena ingin menonton turnamen tenis Australian Open. Tentu saja sekaligus untuk jalan-jalan melihat kota ini dan atraksi wisatanya seperti Great Ocean Road dan Phillip Island. Perjalanan ke Melbourne ini saya lakukan dengan naik pesawat, yang kalau dapat harga promo bahkan lebih murah jika dibandingkan dengan jalur darat. Begitu tiba di bandara Melbourne, perjalanan ke pusat kota dilanjutkan dengan menggunakan bis SkyBus. Berhubung memang untuk melayani transportasi dari bandara, bis merah ini menyediakan ruang bagasi di dalam bis yang cukup luas untuk menampung koper-koper penumpang. Bis kemudian berhenti di stasiun kereta Central Station, dan perjalanan dilanjutkan dengan sebuah minivan untuk mengantar penumpang ke tempat penginapan. Saya menginap di backpacker hostel YHA Central dan diantar sampai cukup dekat dengan lokasi sehingga tinggal berjalan kaki untuk mencapai hostel. Waktu tiba di hostel, ternyata masih terlalu pagi dan harus menunggu proses check out penghuni kamar sebelumnya. Daripada bengong menunggu di lobby hostel, saya putuskan untuk breakfast di sebuah cafe di sebelah hostel. Menunya? Pancake dengan saus madu favorit saya! Plus segelas orange juice. Mengambil posisi duduk dekat jendela untuk makan sambil membaca buku Creating the Good Life nya James O’Toole dan people watching, pagi itu terasa seperti di Utopia. Tapi feel-good moment ini berakhir di tegukan pertama orange juice. Rasanya sangat kecut bercampur rasa-rasa gak jelas lain yang intinya: tidak layak konsumsi! What a mood wrecker! Saya sempat complain ke kasir waktu membayar, tapi dia cuma bisa minta maaf.











Next, kembali ke hostel reception untuk mengurus check-in sekaligus konfirmasi paket tour ke Great Ocean Road dan melihat parade Penguin di Phillip Island yang sudah saya beli melalui website YHA sebelum berangkat. Ternyata jadwal lebih mepet dari yang saya kira, jadi begitu selesai check-in saya langsung ke kamar untuk menaruh tas dan turun kembali untuk menunggu bis jemputan dari pihak tour operator. Untungnya salah satu pick-up point adalah di depan hostel tempat saya menginap dan ternyata waktu saya sampai di bawah, minibus sudah standby. Untung saja saya belum ketinggalan hehe. Sebelum masuk mobil saya harus menunjukkan bukti booking dan pembayaran ke sopir, then off we go. Di hari pertama ini saya ikut tour ke Phillip Island untuk melihat parade Penguin. Tapi sebelum itu, sempat singgah di beberapa tempat lain. Diawali dengan pembagian lunch yang “hanya” berupa roti sandwich di sebuah area dekat pasar terbuka yang menjual berbagai macam barang dan kerajinan buatan penduduk lokal. Bagi saya menu itu lebih cocok dibilang snack daripada makan siang. Tidak lama di sini, kamipun dibawa ke sebuah kebun binatang kecil yang bernama Maru Koala & Animal Park untuk melihat satwa khas Australia seperti koala, kangguru, Tasmanian Devil dan ostrich (burung unta).


Snack break stop 



Di sini saya dengan sangat terpaksa melanggar himbauan guide untuk tidak menyentuh koala yang sedang bertengger di sebuah pohon yang rendah. Akibatnya saya ditegur oleh sopir sekaligus tour guide kami :) Tapi paling tidak rasa penasaran saya terpuaskan, so it’s worth it :) Katanya sih cakar binatang ini bisa berbahaya, tapi kalau menurut saya sih itu hanya excuse untuk melarang pengunjung seenaknya menyentuh binatang ini. Ternyata dedaunan yang dimakan koala ini sebenarnya beracun, tapi secara alami tubuh koala sudah beradaptasi untuk memproses makanan ini. Efek sampingnya, binatang ini hampir akan selalu terlihat sedang tidur karena proses untuk mencerna makanan beracun ini membutuhkan banyak energi yang membuat mereka kelelahan. Tasmanian Devil sama sekali tidak terlihat seperti kesan karakter kartun Warner Bros yang bertampang freaky. Malahan menurut saya binatang kecil ini bisa dibilang cute :)


The forever sleepy Koala



Tasmanian Devil
Yang paling banyak ditemukan di sini adalah kangguru. Kangguru-kangguru di tempat ini jinak dan tidak malu-malu melahap makanan yang diberikan oleh pengunjung. Pengunjung memang diberi kesempatan untuk memberi makan kangguru dan juga burung unta dengan makanan khusus yang bisa dibeli di sini. Cuma hati-hati saja waktu memberi makan burung unta, karena binatang ini cukup agresif dan patokan paruhnya bisa membuat pingsan mereka yang jantungan hehe. Tapi tenang, berbeda dengan kangguru yang bisa diberi makan langsung tanpa pembatas, area burung unta dibatasi pagar. Jadi kalau gak mau merasakan sensasi dipatok, cukup meletakkan makanan di atas balok kayu pagar pembatas dan burung-burung ini bisa “swalayan”. 

Ostrich ganas
Di suatu area ada seekor kangguru berotot yang dijuluki tour guide kami “Arnold” nya para kangguru hehe...Hal menarik lain, ada seekor kangguru kecil yang albino. Benar-benar unik dan menarik perhatian semua pengunjung, bisa bayangkan kangguru berwarna putih? Selesai mengelilingi tempat ini kamipun berjalan keluar untuk kembali ke mobil. Di halaman luar tempat ini terdapat sebuah tempat bermain golf mini. Meskipun penampilan mini golf course ini biasa saja menurut saya, yang agak tidak biasa adalah ada sebuah papan di depan area ini yang bertuliskan larangan-larangan untuk masuk dan bermain, antara lain tidak boleh merokok, tidak boleh membawa masuk minuman, tidak boleh membawa binatang peliharaan dan yang terakhir tidak boleh telanjang kaki dan harus memakai pakaian rapi! Lebih hebat lagi, di gerbang masuk ke kompleks ini dipasang sebuah spanduk bertuliskan “Australia’s Best Mini Golf”. Mungkin yang seperti inilah yang dimaksud “Marketing is bullshit” :)


"Arnold"

Albinoroo







Dari sini kamipun bertolak ke Phillip Island, tapi tidak langsung melihat parade penguin karena fenomena ini baru terjadi menjelang malam. Kami dibawa ke suatu area yang disebut Pyramid Rock. Sesuai namanya, tempat ini berupa tanjung kecil yang di dekat ujungnya terdapat sebuah batu yang berbentuk seperti piramid. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kota kecil di pesisir pantai untuk makan siang yang sebenarnya. Di sini kami “ditraktir” makan pizza oleh tour guide sambil menikmati pemandangan pantai, not bad. Meskipun tidak perlu membayar, sebenarnya biaya beli pizza sudah termasuk ke biaya tour. Dalam sejenak saja beberapa kotak pizza ukuran besar ini dihabiskan oleh para peserta tour. Untungnya sih semua peserta masih cukup beradab, jadi semua kebagian jatah :)  Pantai di sini cukup bagus dan cukup banyak keluarga yang piknik dan bersantai di sini. Setelah selesai makan, kamipun kembali ke mobil untuk menuju ke destinasi berikutnya, The Nobbies yang terletak di pesisir selatan Phillip Island. 

Pyramid Rock

Di sini kita bisa melihat Seal Rocks yang merupakan batu karang yang berbentuk seperti bukit kecil yang merupakan tempat koloni anjing laut berbulu (fur seals) terbesar di Australia. Di lokasi ini juga terdapat blowhole, yakni gua di tepi laut yang mengeluarkan suara yang menggelegar di saat ombak besar. Hanya saja, waktu saya di sana tidak mendengar suara apapun :) Di kunjungan musim panas saat itu memang langit sangat cerah, dan sejauh mata memandang memang tidak ada ombak besar, jadi bisa dimaklumi. Setelah puas menyusuri boardwalk, yakni jalur untuk pejalan kaki melihat pemandangan sekitar, yang terbuat dari papan kayu dan berpagar, kami pun berkumpul kembali di area di luar The Nobbies Centre, sebuah gedung di lokasi ini yang didalamnya terdapat gift shop, area bermain anak-anak, cafe dan juga area khusus yang memberikan informasi ilmiah tentang The Nobbies. Tour guide ternyata membawa snack ringan dan menyediakan air panas untuk menyeduh teh atau kopi. Menikmati indahnya pemandangan pesisir laut sambil makan snack yang ditemani teh panas, simply fantastic...Di area luar gedung memang disediakan bangku dan meja kayu untuk bersantai. Saya menyempatkan diri untuk keliling di dalam gedung sambil sedikit foto-foto. Pengunjung yang datang waktu itu cukup ramai. Data statistik The Nobbies Centre menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar setengah juta pengunjung mendatangi tempat ini. 


The Nobbies

The Nobbies Centre
Setelah itu kami semua kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan untuk melihat parade penguin. Di tengah jalan, tour guide kami sengaja menghentikan mobil karena melihat seekor kangguru liar yang sedang nongkrong di antara padang ilalang. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikannya, meskipun kamera digitial saya tidak dilengkapi fasilitas optical zoom, hanya digital zoom. Hasilnya ya, maskot Aussie ini memang terlihat kecil, but it’s ok lah. Selama beberapa saat, terjadi aksi saling menatap antara penghuni mobil dengan sang kangguru. Uniknya, binatang berkantong ini sepertinya tahu kalau dia sedang jadi objek bidikan mata dan kamera, tapi dia nyantai dan cuek saja tuh :) Puas foto-foto, kami langsung tancap gas ke tujuan berikutnya. 


Can you see it?

Sayangnya di lokasi parade penguin tidak diperbolehkan untuk foto-foto. Jadinya kilas balik kunjungan ke tempat ini hanya bisa dilakukan dengan mengakses memori ingatan. Dari pintu masuk kami berjalan ke area tepi pantai yang telah disediakan tempat duduk bertingkat yang terbuat dari semen untuk melihat aksi para penguin mini ini berenang kembali ke pantai yang menjadi sarang mereka, setelah seharian mencari makan di laut. Sempat harus menunggu selama beberapa lama, yang terasa seperti keabadian, akhirnya terpuaskan juga setelah melihat makhluk-makhluk kecil ini dengan lucunya muncul dari air dan berjalan dengan langkah-langkah khas penguin memasuki area pantai untuk kembali ke sarangnya. Pengunjung bisa mengikuti mereka menyusuri pantai melalui jalur pejalan kaki, tapi dijaga oleh para petugas untuk memastikan tidak ada orang iseng yang akan mengganggu burung-burung ini. Selesailah petualangan melihat parade penguin. Meskipun relatif singkat, tapi pengalaman unik ini cukup berkesan. Menuju ke pintu keluar, terdapat gift shop yang menjual segala pernak-pernik bertema penguin dan tempat ini. Hari sudah malam dan kamipun kembali ke kota Melbourne. Meskipun cukup lelah, tapi hari pertama ini fun. Setelah kembali ke hostel dan mandi, it’s time to sleep. Besok pasti tidak kalah menarik karena akan menyaksikan turnamen tenis Australian Open secara LIVE untuk pertama kalinya.

Melbourne Day Two

Good morning, Melbourne! Cuaca pagi ini cerah, just perfect! Di dapur saya bertemu sebuah keluarga Australia yang ternyata juga datang ke Melbourne untuk nonton Australian Open. Sang Ibu sedang menyiapkan bekal untuk “piknik” keluarga ke stadion. Menurut beliau, makanan di stadion sangat mahal. Good planning, tapi berhubung saya hanya akan menonton untuk hari ini saja dan memang tidak ada persiapan untuk membawa bekal, terpaksa nanti harus lunch di stadion. Salah seorang anak dari keluarga ini malah bisa sedikit Bahasa Indonesia karena belajar di sekolah. Bahasa Indonesia memang menjadi salah satu bahasa pilihan untuk dipelajari murid-murid sekolah di Australia, yang membuat saya berkesempatan untuk menjadi tutor privat untuk Josh dan Jake, dua kakak beradik murid saya di Sydney. Setelah breakfast instant noodle plus cereal, saya pun segera berangkat ke stadion. 

Ternyata untuk ke stadion cukup naik tram dari depan hostel yang dilanjutkan dengan sedikit berjalan kaki. Itulah keunggulan memilih tempat tinggal di lokasi strategis, yang punya nilai tambah akses mudah ke mana-mana. Hostel YHA Melbourne Central ini saya rekomendasikan kepada kamu seandainya suatu hari berkunjung ke Melbourne. Selain lokasi strategis, kamar dan WC di sini juga cukup nyaman dan bersih. Value for money nya cukup tinggi deh pokoknya. Dari tempat pemberhentian tram, masih harus berjalan kaki sedikit ke stadion. Kompleks yang disebut Melbourne Park ini memiliki dua stadion utama yang bernama Rod Laver Arena dan Hisense Arena dan beberapa lapangan yang lebih kecil. Dua lapangan utama ini dilengkapi dengan atap yang bisa buka tutup di saat hujan atau panas terik. Turnamen yang diadakan sejak 1905 ini tercatat selalu sangat ramai pengunjung, nomor dua setelah US Open di Amerika. Tidak main-main, turnamen ini memperebutkan total hadiah sebesar AU$ 26 juta!   


Inside The Rod Laver Arena

Pertandingan yang akan saya saksikan dilangsungkan di Rod Laver Arena yang merupakan lapangan utama. Ketika sampai, pengunjung yang datang sudah sangat ramai dan mengantri dengan rapi untuk masuk ke dalam stadion. Saya tidak tahu siapa yang akan bertanding sampai ketika akan masuk ke stadion, karena memang tidak tertulis di tiket. Tapi bagi saya tidak terlalu menjadi masalah, karena niatnya memang bukan hanya menonton pertandingan, tetapi juga menikmati suasananya. 

Dari tampilan layar elektronik yang di depan tempat mengantri, saya bisa melihat kalau nanti yang akan tampil di lapangan utama adalah Roger Federer, Caroline Wozniacki dan Maria Sharapova! Kesempatan untuk melihat langsung penampilan Federer (pemegang gelar juara Grand Slam terbanyak dalam sejarah), Wozniacki (waktu itu merupakan petenis putri peringkat satu dunia), dan Sharapova yang penampilannya lebih mirip selebriti Hollywood daripada pemain tenis, merupakan berkat yang patut disyukuri. What a pleasant surprise

Ketika akhirnya menjejakkan kaki di dalam stadion, saya cukup terkesan dengan penampilan dan kenyamanan bangunan bernuansa biru ini. Untuk masuk ke area tempat duduk harus melalui sejumlah pintu masuk yang terdapat di sekeliling lapangan. Di setiap pintu terdapat petugas yang berjaga, siap membantu pengunjung soal tempat duduk dan juga menjaga ketertiban selama pertandingan berlangsung. Moment yang paling menarik adalah ketika pemain men-“challenge” bola yang dianggapnya tidak masuk tapi masuk menurut wasit. Ketika visualisasi masuk/keluarnya bola yang di-generate oleh komputer ditampilkan di layar besar di lapangan (teknologi Hawkeye), penonton serempak melakukan tepukan tangan sampai tampilan selesai dan bola terbukti masuk/keluar. 



Federer in action
Yang tidak kalah menarik adalah ketika waktu jeda, sebagian penonton berkerumun di pembatas tepi lapangan untuk meminta tanda tangan dari petenis favoritnya. Waktu break saya manfaatkan untuk membeli lunch, yang seperti informasi yang saya dapat sebelumnya, memang tidak murah. Semua counter penjual makanan di sini hanya model stand yang tidak dilengkapi meja kursi untuk makan di tempat, jadi acara makan harus dilakukan sambil berdiri di area hall ini atau masuk kembali untuk duduk di kursi lapangan. Saya memilih alternatif kedua. Ketika semua pertandingan akhirnya selesai, tidak terasa waktu sudah menjelang sore. Yang berkesan adalah pukulan forehand dan backhand Federer yang dahsyat dan suara “lenguhan” Sharapova setiap kali memukul bola :) 

Saya sempatkan singgah di gift shop untuk membeli kaus tema Australian Open sebagai kenang-kenangan sebelum meninggalkan stadion. Berikutnya saya akan bertemu dengan Felix, seorang teman lama yang tinggal di salah satu area pinggiran kota Melbourne. Setelah early dinner bareng dengan menu masakan India, kamipun berpisah karena waktu sudah menjelang malam. Di saat itulah saya merasakan sendiri kalau ternyata benar bahwa di Melbourne bisa terjadi pergantian empat musim dalam sehari. Waktu tunggu di stasiun yang cukup lama untuk naik train kembali ke pusat kota ditemani angin dingin yang berhembus cukup kencang. Dinginnya udara hari itu hampir terasa layaknya winter di Sydney, padahal waktu itu musim panas! Teman saya memang sempat bilang sebelum kami berpisah, di kota ini setiap kali keluar rumah harus mempersiapkan payung, jaket dan lain-lain karena cuaca di sini yang terkenal moody. Masalahnya waktu itu saya tidak membawa jaket tebal, dan di stasiun kecil itu tidak ada ruangan untuk menghindar dari hembusan angin dingin..brrrr. Jadi ketika akhirnya kereta datang, luar biasa lega rasanya. Meskipun di dalam kereta juga ber-AC tapi tidak sedingin angin di luar. 

Waktu sampai di pusat kota, saya masih menyempatkan untuk jalan-jalan sejenak ke Federation Square dan sekitarnya. Fed Square ini konon adalah tempat nongkrongnya warga Melbourne, tapi malam itu cenderung sepi. Hiruk pikuk kota metropolitan tidak terlalu terasa di sini, berbeda dengan Sydney. Di salah satu area kota dekat Flinders Street Station, terdapat deretan sepeda yang bisa disewakan untuk keliling kota. Cukup gesek kartu kredit dan kita bisa jalan-jalan keliling kota dengan sepeda. Tapi ingat, wajib memakai helm. Kalau tidak membawa helm, bisa dibeli di minimarket seperti 7 Eleven seharga $5. Bersepeda tanpa helm illegal di sini jadi jangan nekat mencobanya! Setelah puas jalan-jalan, sayapun kembali ke hostel untuk beristirahat. Besok pagi masih ada acara tour ke Great Ocean Road sekaligus hari terakhir di Melbourne. Can’t hardly wait!




Melbourne Day Three

Last day in Melbourne! Berhubung hari terakhir, hari ini harus dinikmati secara maksimal. Karena tour operator untuk ke Great Ocean Road ini sama dengan yang ke Phillip Island, saya kembali reuni dengan John, sang supir merangkap tour guide. Seperti hari pertama, pagi-pagi dia sudah standby di satu pick up point yang strategis untuk dicapai mayoritas peserta tour. Setelah itu baru menjemput sisa beberapa peserta lain dan kemudian berangkat ke tujuan. Setelah kurang lebih dua jam perjalanan, kami sempat break sebentar di tengah jalan untuk menikmati teh/kopi panas plus biskuit. Benar-benar nikmat, sekaligus kesempatan untuk stretching sebentar setelah lama duduk di dalam mobil. Setelah santai sejenak, perjalanan pun dilanjutkan. 

Sekitar satu jam kemudian, sampai juga kami di tempat perhentian pertama yang disebut Gibson Steps. Di papan informasi lokasi ini tertulis beberapa peringatan seperti: berenang tidak dianjurkan, anak tangga untuk turun ke bawah licin, arus air laut di sini yang kuat dan bahaya tebing yang tidak stabil. Di samping itu juga terdapat larangan seperti membawa binatang peliharaan, membuat api unggun dan lain-lain. Iya, tempat ini merupakan suatu tebing dengan pantai dibawahnya. Pemandangan di sini cukup bagus, tapi tentu saja tidak akan komplit jika jauh-jauh ke sini tidak turun ke bawah untuk menikmati pantainya. Terdapat 86 buah anak tangga yang harus dilalui untuk sampai ke bawah, jadi kalau untuk orang tua yang punya masalah dengan kakinya mungkin tidak disarankan untuk turun. Tempat ini diberi nama Gibson Steps karena dipercayai dulu anak tangga di sini dibuat oleh suku setempat, yang kemudian dipelihara oleh seorang penduduk lokal bernama Hugh Gibson. Di sini juga terdapat sebuah bongkahan baru besar yang bisa dibilang menjadi icon tempat ini, dan menjadi sasaran jepretan kamera. Tapi selain dari itu, tidak terlalu banyak yang bisa dilihat di sini.


Gibson Steps




Tujuan berikutnya, The Twelve Apostles alias formasi 12 buah bongkahan batu di laut yang boleh dibilang merupakan atraksi utama di Great Ocean Road. Tempat ini merupakan bagian dari taman nasional Port Campbell (Port Campbell National Park). Saat ini bongkahan batu yang ada tinggal 8 buah karena faktor alam. Awalnya tempat ini bernama Sow and Piglets yang kemudian diganti menjadi The Twelve Apostles di tahun 1950an yang mengambil dari istilah Alkitab, yakni 12 murid Yesus. Kunjungan ke tempat ini agak spesial dan akan menjadi kenangan seumur hidup karena disinilah untuk pertama kalinya saya merasakan naik helikopter untuk melihat pemandangan tempat ini dari langit. Duduk di samping pilot benar-benar strategis untuk foto-foto. Meskipun ada yang menyebut tempat ini tidak lebih dari “sejumlah onggokan batu”, bagi saya pribadi tempat ini cukup unik dan spesial. Kesan yang saya dapatkan dari melihat pemandangan tempat ini dari udara sangat luar biasa, meskipun waktunya tidak lama dan biayanya cukup mahal. It’s all worth it!

Setelah turun kembali ke bawah, saya masih menyempatkan diri untuk foto-foto mengambil dari angle darat. Peserta yang memilih untuk tidak naik helikopter bisa jalan-jalan sendiri melalui jalur darat. Setelah menghabiskan kurang lebih setengah jam di tempat ini, kamipun melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya Loch Ard Gorge. Tempat yang hanya berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari Twelve Apostles ini mengambil nama dari sebuah kapal Inggris bernama Loch Ard yang terdampar di pulau Muttonbird Island yang lokasinya berdekatan dengan tempat ini, waktu melakukan perjalanan ke Melbourne. Istilah gorge sendiri berarti jurang atau ngarai kecil yang curam.  


Twelve Apostles (or what's left of it)

Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam tiga sore. Jadwal berikutnya, lunch break. Kami dibawa John ke sebuah cafe yang cukup besar, di dalamnya juga ada gift shop. Tapi sayangnya tidak ada menu yang menarik sehingga lunch hari itu berakhir dengan hanya makan pancake with hot cappuccino. Waktu makan saya sempat ngobrol sebentar dengan peserta tour lain, ada yang berasal dari Swedia, dan ada juga yang dari Jerman. Australia memang punya daya tarik cukup tinggi bagi traveller dari seluruh dunia. Setelah lunch kami dibawa ke suatu kawasan hutan konservasi yang bernama Maits Rest Rainforest Walk untuk trekking singkat. Lumayan untuk membakar sedikit kalori setelah makan siang dan untuk menyegarkan pernafasan. Dari sini kami melanjutkan perjalanan ke Cape Patton Lookout, suatu tempat yang cukup strategis untuk melihat pemandangan pesisir pantai Great Ocean Road. Setelah foto-foto sebentar, perjalanan dilanjutkan ke lookout berikutnya yang bernama Mount Defiance Lookout. Pemandangan yang bisa dilihat dari kedua lookout ini tidak terlalu berbeda. Tapi yang menarik dari Mount Defiance adalah ada sebuah papan yang bertuliskan tentang sejarah William Buckley, seorang napi yang dikirimkan dari Inggris ke Australia tapi melarikan diri dan tinggal bersama suku Aborigin di sekitar area ini selama lebih dari 30 tahun.















Berikutnya, kami berhenti di lokasi gapura yang bertuliskan Great Ocean Road yang merupakan pintu gerbang masuk ke area rentang jalan sepanjang 243 kilometer ini. Peserta tour diberi kesempatan untuk mengabadikan diri berfoto dengan latar belakang gerbang ini. John seperti sebelumnya juga, menjadi sukarelawan yang membantu kami, termasuk saya hehe..mengambil foto di sini. Di sini juga terdapat sebuah batu peringatan “Memorial Arch – Eastern View” yang didekasikan untuk para prajurit korban Perang Dunia I. Great Ocean Road ini ternyata dibuat oleh para prajurit yang kembali dari perang diantara tahun 1919 sampai 1932, dan merupakan memorial peringatan perang terbesar di dunia. Dari sini kami singgah ke Bells Beach, pantai berikutnya yang tidak terlalu jauh berbeda dengan pantai-pantai sebelumnya yang telah kami singgahi di sepanjang pesisir ini. Dengan berakhirnya kunjungan di Bells Beach ini, berakhir juga petualangan kami di Great Ocean Road. Perjalanan pun dilanjutkan kembali ke kota Melbourne. 


Ketika sampai di kota Melbourne, hari sudah sore. Meskipun agak mendung, saya putuskan untuk melanjutkan jalan-jalan sendiri di kota. Jalan-jalan sore di pinggiran Yarra River yang melintasi kota Melbourne cukup menyegarkan, meskipun cuaca mendung. Cuaca seperti ini memang tidak ideal, tapi at least tidak panas dan untungnya tidak ada angin dingin seperti kemarin. Tapi lupakan soal people watching, karena sore itu sangat sedikit orang yang lalu lalang. Area pinggir sungai dihiasi gedung-gedung di kedua sisinya, termasuk sejumlah bangunan pencakar langit yang cukup mencolok. Saya sempat singgah ke Melbourne Aquarium, meskipun tidak masuk ke dalam. Menurut saya sih tidak akan berbeda jauh dengan Sydney Aquarium yang ada di kota Sydney. Ada satu pemandangan menarik yang saya jumpai waktu itu, yakni sebuah kapal yang mirip gondola di Venisia sedang membawa penumpang menyusuri Yarra River. 


Melbourne Venesia

Belum puas menikmati suasana Melbourne, saya putuskan untuk mengunjungi St. Kilda, sebuah suburb berjarak sekitar 6 km di sebelah tenggara pusat kota Melbourne CBD. Kalau mau dibandingkan, area ini mungkin mirip dengan Bondi di Sydney, karena di sini juga merupakan lokasi pantai paling terkenal di Melbourne, St. Kilda Beach. Luna Park, theme park lokal yang terkenal juga ada di sini. Dengan menggunakan tram dan dihiasi dengan tanya sana-sini, akhirnya sukses juga saya sampai ke lokasi. Tapi berhubung sudah malam, Luna Park sudah tutup dan saya juga memutuskan untuk tidak jalan-jalan ke pantainya. Satu-satunya pilihan, menikmati suasana St Kilda dengan berjalan menyusuri deretan cafe-cafe di sepanjang jalan, yang masih cukup ramai. Karena ingin menikmati sedikit lebih lanjut suasana tempat ini, saya singgah di sebuah pizzeria untuk makan pizza. Sempat sedikit canggung karena ditengah keramaian restoran, saya satu-satunya orang Asia, dan satu-satunya yang datang sendiri! Tapi akhirnya saya cuek saja makan pizza sambil menikmati suasana cafe dengan segala jenis pengunjungnya. Just so you know, makanannya tidak murah. Tapi for the sake of experience, it’s ok. Karena tidak mau sampai ketinggalan tram terakhir untuk kembali ke pusat kota, saya tidak bisa terlalu lama nongkrong di sini. Saatnya kembali ke hostel untuk istirahat dan pulang kembali ke Sydney besok pagi. It has been three days of fun. Hope to see you again, Melbourne!

- SW -