Friday, April 18, 2014

China Trip - Day 2 : Kuala Lumpur – Tianjin

Belum terasa memejamkan mata, telepon kamar sudah berbunyi sebagai morning call untuk membangunkan semua peserta tour. Dengan usaha yang luar biasa ekstra disertai doa, saya memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur dan mandi. Gak bisa lama-lama menikmati air panas dari shower karena harus segera turun untuk early breakfast.

Setelah mandi dan beres-beres, memastikan tidak ada barang yang ketinggalan di kamar, terlebih-lebih dompet dan paspor, kami segera turun ke ruang makan hotel. Sesampainya di ruang makan, segala lini praktis dikuasai oleh peserta tour. Maklum, baru jam 5 pagi. Breakfast di hotel biasanya baru ada mulai jam 6, 6:30, tergantung hotel. Saya langsung mulai dengan menyantap semangkuk bubur. Setelah itu baru mencicipi sedikit menu-menu lainnya, terlalu pagi untuk makan banyak. Selesai breakfast kami segera naik bis untuk menuju bandara. Sesampainya di bandara, meskipun masih pagi tapi suasana sudah cukup ramai. Self check-in tiket kali ini dibantu oleh pengurus tour asal Malaysia, tour leader kami mengurus semua bagasi yang harus di check-in. Setelah itu kami hanya menunggu keberangkatan saja. Kami kembali naik AirAsia yang menggunakan pesawat Airbus A320-300, kelas ekonomi dengan formasi tempat duduk 3-3-3 dalam satu baris.

Kalau Anda bertanya mengapa selalu AirAsia yang dipakai dan bukan Singapore Airlines (SQ), Emirates atau sejenisnya, pastinya ada hubungan dengan masalah UUD (ujung-ujungnya duit). Prinsip ekonomi suatu bisnis kan mengeluarkan biaya minimum untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Travel agent dan tour operator tidak terkecuali. Yang kayak gini kan anak kecil dan nenek-nenek juga tahu hehe…Semua penerbangan internasional (Malaysia-China pp) dan domestik (dalam wilayah Malaysia) di tour kami ini memang memakai AirAsia, kecuali satu, penerbangan jalur domestik di China. Catatan lain, bandara Tianjin tidak sebesar Beijing atau Shanghai, jadi memang tidak semua maskapai punya jalur terbang ke sini. Toh kalau mau ke Beijing dari Tianjin tinggal naik bis atau kereta api.

Pemandangan di dalam Airbus A320-300
 Tianjin cukup penting dalam perjalanan kali ini, karena merupakan kota persinggahan pertama di ‘Tour de China’ saya yang pertama, yang akan memberikan kesan pertama tentang negara ini. Pokoknya, yang serba pertama. Kita semua tahu kesan pertama sangat penting. Tanya saja kepada mereka yang menjalani interview pekerjaan untuk jabatan penting. Atau mereka yang ketemu dengan calon mertua untuk pertama kalinya J Dampaknya bisa berkaitan dengan hidup matinya seseorang hehe. Meskipun kita semua juga tahu, kalau kesan pertama itu tidak selalu akurat dan benar. Diperlukan informasi yang lebih lengkap dan waktu yang lebih lama sebelum kita bisa memberikan penilaian yang paling tidak lebih mendekati kebenaran tentang suatu hal atau seseorang.

Kembali ke soal Tianjin, sebenarnya saya tidak blank sama sekali tentang kota ini. Sebelum berangkat saya sempatkan untuk browse di internet, khususnya di www.wikitravel.org yang sudah jadi panduan wajib saya setiap kali ingin travelling. Saya juga menyempatkan untuk melihat video tentang kota Tianjin di YouTube. Video promosi kota Tianjin yang saya lihat membuat saya tidak bisa menahan diri untuk berdecak kagum. Kota ini sangat maju dan merupakan salah satu kota pelabuhan penting di Cina. Tata kota yang rapi, bersih dan hijau benar-benar asri dan menambah daya tarik kota ini.

Perjalanan wisata ke Cina dengan pintu gerbang Tianjin ini memakan waktu kurang lebih 6 jam. Setelah cukup lelah di dalam pesawat, dimana saya tidak benar-benar bisa beristirahat, rasanya akan sangat menyenangkan jika setelahnya bisa mendapat penghiburan berupa pemandangan yang menarik dan indah. Ketika turun dari pesawat yang tiba hampir jam 3 sore waktu setempat, kesan pertama saya, bandara Tianjin tidak besar tapi cukup modern. So, paling tidak kesan pertama saya cukup positif. Perbedaan waktu antara Tianjin dengan Jakarta (WIB) adalah 1 jam lebih cepat, sama seperti perbedaan waktu dengan Malaysia dan Singapura.  Setelah melewati bagian imigrasi dengan lancar, kamipun langsung menuju pintu keluar bandara.

Bandara Tianjin
Di sana tour guide kami yang merupakan warga lokal asli, sudah menunggu. Beliau ternyata bisa berbahasa Indonesia! Bukan itu saja, sang tour guide bahkan mengadopsi nama Indonesia, Ms. Eka. What a bonus! Jujur saja, saya agak sedikit surprise bercampur kagum. Ketika di Australia, saya pernah mengajar Bahasa Indonesia privat kepada dua orang anak SD dan seorang professor universitas. Dan saya bisa bilang, Bahasa Indonesia tidak terlalu sulit untuk dipelajari orang asing, tapi juga tidak mudah. Makanya saya angkat topi juga untuk tour guide kami itu. Meskipun lafalnya masih dengan aksen yang kental dan kadang-kadang tidak jelas dan kurang tepat, tapi menurut saya sudah cukup luar biasa. Apalagi menurut pengakuan beliau, dia hanya belajar di kursus selama enam bulan! Kalau mau dibalik, dulu saya pernah ikut kelas Mandarin di Jakarta, dan asal tahu saja, lafal murid-murid di kelas 90% amburadul!

Kami harus berjalan kaki keluar dari bandara ke area parkir bandara dimana bis pariwisata sudah standby. Sore itu matahari bersinar terang dan langit cerah dengan suhu yang nyaman, tidak dingin ataupun panas. Jadi ketakutan perubahan cuaca ekstrim dari panas di Indonesia ke dingin tidak terjadi. Menurut sang tour guide, musim semi di Tianjin suhunya hanya akan menjadi cukup sejuk dan dingin di malam hari. Di awal bulan April ini, pohon-pohon masih ‘botak’ sebagai dampak musim dingin yang baru saja lewat. Jadi harapan untuk melihat bunga-bunga musim semi yang mekar semerbak pupus sudah.


Setelah naik ke bis, tujuan pertama kami adalah Jalan Itali. Jalan ini adalah kompleks perumahan bergaya Eropa yang merupakan peninggalan kaum kolonialis. Gaya bangunan yang indah dan klasik langsung membuat saya suka dengan tempat ini. Tapi ini bukan hanya pendapat saya pribadi, buktinya waktu kami berkunjung ke sana, ada dua pasang pengantin yang sedang menjalani sesi foto-foto wedding. Apa sih yang lebih romantis dari foto wedding yang berlatar bangunan klasik Eropa? Jadi kalau Anda tertarik untuk mengambil foto-foto pre-wedding maupun wedding yang berlatar Eropa, tidak perlu jauh-jauh ke Perancis, Italia atau negara-negara Eropa lainnya, cukup ke Tianjin saja. Apalagi terbang ke Tianjin bisa menggunakan budget airline AirAsia dengan tagline nya yang catchy: “Now everyone can fly”.

Di area ini juga terdapat deretan restoran yang ditata dengan cukup apik sesuai dengan lingkungannya. Serasa berjalan di Eropa lah, dengan nuansa Asia karena para pelayan restoran yang merupakan warga lokal. Belum puas menikmati pemandangan dan suasana di sini, tour guide sudah memanggil kami untuk kembali ke bis untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan berikutnya. Waktu yang singkat di sini cukup membuat saya jatuh cinta dengan kota ini dan ingin berlama-lama di sini. Tapi apa boleh buat, jadwal kami hanya numpang lewat dan sekilas info di Tianjin, sebelum menuju Beijing.

Jalan Itali

Dari jalan Itali, kami menuju ke Jalan Budaya. Area ini merupakan sebuah jalan kecil yang lebih mirip gang, dengan kompleks pertokoan di kedua sisinya.
Jalan Budaya
Tempatnya cukup menarik, tapi sayangnya berhubung waktu sudah sore menjelang malam, toko-toko yang buka tidak banyak. Tapi di sisi lain, sunset yang dilihat dari sini cukup indah, sedikit demi sedikit tenggelam di belakang gedung-gedung pencakar langit. Di sini, kamu bisa beli makanan kecil atau snack khas lokal. Ada juga toko yang menjual pakaian khas China, stand buku/majalah dan lain-lain. Setelah rombongan ibu-ibu peserta tour puas belanja, berikutnya kami meneruskan perjalanan ke Jalan Makanan.

That’s right, sesuai namanya, tempat ini merupakan suatu kompleks yang menjual makanan-makanan khas lokal. Tapi ada juga stand-stand yang menjual kerajinan tangan buatan lokal.
Jalan Makanan
Dari sini kami berjalan ke sebuah restoran ‘Muslim’ yang letaknya tidak jauh dari kompleks ini untuk makan malam. Saya sempat penasaran juga menunya seperti apa. Ternyata, meskipun namanya restoran ‘Muslim’, tapi makanan yang disajikan Chinese Food! Mungkin restoran ini bersertifikat halal, atau hanya sekedar penamaan. I’m not sure. Yang jelas makanan yang disajikan biasa saja, jadi saya tidak akan merekomendasikannya. Ada beberapa meja lain yang menunya kelihatannya seperti shabu-shabu. Mungkin menu ini yang harusnya kami coba. Tour guide kami ngaku kalau dia pilih restoran itu hanya karena letaknya yang dekat dengan kompleks Jalan Makanan. Soalnya setelah dinner kami harus naik bis menuju Beijing untuk bermalam. So time is money!

Setelah dinner, kami segera naik bis untuk meneruskan perjalanan. Di perjalanan, ada pemandangan fantastis kota Tianjin yang tidak akan saya lupakan. Di sebuah area kota yang dipisahkan oleh sungai, berhubung waktu sudah malam, lampu-lampu dinyalakan menghiasi jembatan dan area sekitarnya. Di dekatnya, berdiri sederetan apartemen yang juga dihiasi dengan lampu-lampu. So grand and beautiful! Di Tianjin, bagian bawah jalan tol juga dipasangi lampu sebagai bentuk tata rias kota.

Waktu yang hanya beberapa jam untuk sekedar melihat sekilas kota Tianjin, benar-benar terasa tidak mencukupi. Tapi apa boleh buat, resiko ikut tour dengan jadwal yang padat dan ketat. Tapi di sisi lain, saya juga sudah tidak sabar untuk melihat Beijing. Goodbye Tianjin, Beijing here we come!

Perjalanan naik bis dari Tianjin ke Beijing makan waktu kurang lebih dua jam. Berhubung di sepanjang jalan pemandangan yang ada cuma jalan tol, saya memutuskan untuk coba tidur saja. Petualangan dari KL kemarin cukup melelahkan, jadi harus manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk recharge. Fast forward, akhirnya bis memasuki kota Beijing. Pemandangan kota Beijing di malam hari cukup indah, gedung-gedung dihiasi dengan lampu warna-warni. Menurut Ms. Eka, hal ini memang bagian dari agenda resmi dari pemerintah kota Beijing untuk memperindah kota. Katanya kalau kita naik pesawat malam hari memasuki wilayah Beijing, dari atas kita akan melihat pemandangan lampu warna-warni yang sangat indah. Berarti next trip ke Beijing harus naik pesawat nih. Tidak lama kemudian akhirnya sampai juga di Hotel Peixin. Hotel bintang empat ini mendapat cukup banyak review positif di situs TripAdvisor dari para traveller yang pernah berkunjung.

Kesan pertama sih, hotel ini cukup besar dan bagus. Cuma, tidak adanya jalur khusus untuk menarik koper ke dalam hotel cukup menyulitkan. Tangga yang harus dinaiki untuk menuju pintu masuk hotel cukup tinggi. Jadi kalau koper yang dibawa banyak, besar dan berat, good luck deh. Tidak jelas waktu itu kenapa tidak ada jasa bell boy yang bisa membantu untuk angkat-angkat koper. Setelah sesi latihan otot singkat tapi padat ini, kami semua berkumpul di lobby sambil menunggu pembagian kunci kamar. Untungnya sih malam ini tidak selarut waktu tiba di hotel KL. Sehabis pembagian kunci, kami semua masuk ke kamar untuk beristirahat.

Pesan tour leader, besok morning call jam 6 pagi, paling lambat jam 8 kami sudah harus berangkat. Setelah itu breakfast dan full day tour di kota Beijing. De ja vu banget. Selama 12 hari tour ini memang harus membiasakan diri dengan hal ini: check-in hotel, morning call, breakfast, tour, check-in hotel, morning call, breakfast, tour, all over again. Sampai masuk ke alam bawah sadar deh pokoknya. Besok agendanya adalah mengunjungi Tiananmen Square (Lapangan Tiananmen), Forbidden City (Kota Terlarang), Olympic Park dan Summer Palace (Istana Musim Panas).

Saat masuk  ke kamar, memang bersih dan nyaman. Ada satu hal yang membuat saya tidak bisa menahan senyum. Di dinding WC ditempel peringatan untuk berhati-hati supaya tidak terpeleset yang ditulis dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Tertulis: “Carefully Slipping” yang kalau mau diterjemahkan secara harafiah artinya: “Secara perlahan-lahan terpeleset” haha...tidak heran kalau lowongan mengajar Bahasa Inggris cukup banyak di China, terutama untuk para native speakers. Setelah mandi, it’s bedtime. Good night Beijing, we’ll see you tomorrow!


- SW -

Wednesday, April 9, 2014

China Trip - Day 1 : Pontianak – Kuching – Kuala Lumpur


Setelah sekian lama menjadi wacana, akhirnya jadi juga saya travelling ke China. Berhubung saya berangkat bersama orang tua, opsi yang dipilih adalah mengikuti tour lokal yang ada di kota saya. Yang menjadi pertimbangan adalah soal kenyamanan dan kemudahan. Meskipun konsekuensinya masalah biaya yang dikeluarkan harus sesuai dengan yang di-charge oleh tour operator, yang umumnya lebih besar jika dibandingkan dengan independent travelling tanpa jasa tour dari travel agent. Setelah sedikit browsing paket-paket tour yang ditawarkan beberapa travel agent lokal, akhirnya diputuskan untuk ikut paket tour 12 hari China Exciting. Paket ini dipilih karena kota Guilin termasuk ke dalam salah satu kota tujuan. Kota ini keindahan pemandangannya sudah mendunia. Selebihnya, kota-kota lain yang dikunjungi relatif sama di antara paket-paket tour yang ada. Kemudian saya tinggal menyerahkan travel documents berupa passport, KTP, KK dan pas foto dengan latar putih ukuran 4x6 dua lembar untuk permohonan Visa. Setelah tiket pesawat di-issue, dilakukan pembayaran DP sebesar kurang lebih 50% dari total biaya paket tour. And last but not least, singkat cerita, pelunasan pembayaran dilakukan setelah permohonan Visa kunjungan telah disetujui pemerintah China. Akhirnya, Visa yang bergambar Tembok Besar China itu tertempel rapi juga di passport saya. Excited dong. Sekarang tinggal countdown menghitung hari sebelum Hari-H keberangkatan. Can’t hardly wait!

Setelah menjalani masa penantian yang sempat dihiasi dengan sedikit rasa khawatir tidak bisa berangkat karena sakit menjelang hari keberangkatan (maklum, penyakit kronis orang melankolis hehe), akhirnya hari yang ditunggu-tunggu sampai juga! Perjalanan diawali dengan rute darat dari Pontianak, Kalimantan Barat ke Kuching (ibukota negara bagian Sarawak, Malaysia) dengan bis. Mengapa lewat jalur ini? Well, kebetulan saya tinggal di kota ini, dan rute yang dipakai pihak tour operator memang lewat jalur ini. Seperti kata pepatah ‘Banyak Jalan ke Roma’, begitu juga dengan ke China. Banyak jalur yang bisa ditempuh, tergantung daerah atau kota yang ingin kita tuju. Naik pesawat direct dari Jakarta jelas bisa, seperti yang dilakukan oleh tour-tour yang berangkat dari Jakarta. Jam 6 pagi kami sudah berkumpul di depan kantor bis yang akan kami pakai untuk berangkat ke Kuching. Berhubung belum semua peserta hadir, kami masih harus menunggu beberapa saat sebelum akhirnya dipanggil Tour Leader untuk mengambil kembali passport masing-masing, kemudian naik ke bis untuk berangkat. Jalan yang kami tempuh adalah melalui jalan baru yang lebih pendek dan singkat. 

Selama perjalanan yang ditempuh kurang lebih 7-8 jam, kami sempat berhenti untuk beristirahat dua kali.Yang pertama untuk sekedar ke toilet, minum teh/kopi dan makan snack ringan. Dan yang kedua untuk istirahat makan siang. Tempat persinggahan pertama adalah warung makan berukuran sedang, yang awalnya tidak saya ketahui ada di mana persisnya. Tapi setelah sedikit “menjelajah”, saya temukan juga informasi nama tempat ini terpampang di papan nama rumah makan. Ternyata lokasi ini bernama Simpang Gunung Benuah, yang jujur saja sama sekali tidak membawa pencerahan karena baru pertama kali saya dengar :) Serasa berada di negeri antah berantah. Rumah makan sekaligus tempat perhentian dan peristirahatan bagi kendaraan-kendaraan yang lewat ini letaknya cukup terisolir. Memang selain rumah makan ini masih ada deretan beberapa pintu rumah toko satu tingkat. Kalau melihat dari jalan, sejauh mata memandang tidak kelihatan ada lokasi sejenis, hanya pohon dan bukit. Tapi jalan aspal di sini sudah bagus dan mulus, yang membuat saya sedikit surprise. Di sini kita bisa membeli mulai dari snack ringan seperti roti sampai ke makanan yang lebih berat seperti mie rebus. Dan tentu saja, menu standard seperti teh, kopi, dan berbagai minuman kemasan lainnya. 


  







Sedangkan tempat perhentian yang kedua merupakan rumah makan Padang yang besar. Saking besarnya, ada ruang khusus untuk tempat makan para sopir bis. Perkiraan saya sih, tempat khusus ini dibuat untuk makan gratis para supir bis yang sudah membawa penumpang bis makan ke sana. Semacam komisi lah. Di belakang rumah makan juga ada taman hias yang cukup bagus, lengkap dengan jembatan mini dan patung-patung seni berukuran cukup besar. Harga makanannya cukup mahal, apakah untuk kompensasi biaya renovasi taman? Hehe...Saya pikir harga yang mahal ini mungkin ada hubungan dengan biaya transport yang mahal untuk mengangkut bahan baku dan produk makanan minuman ke lokasi. Lebih baik berpikir positif, daripada berpikir negatif dan emosi karena merasa di-overcharged, tapi tetap mesti bayar karena sudah terlanjur makan dan minum! :) Tapi yang membuat saya cukup terkesan dengan kedua tempat persinggahan ini adalah dua-duanya memasang TV LCD untuk tontonan para tamu. Not bad untuk tempat yang letaknya jauh dari kota. Dari sini perjalanan dilanjutkan sampai ke wilayah perbatasan Entikong, di mana kami semua harus turun dari bis untuk diperiksa passport dan form imigrasi di dua tempat. Yang pertama di pintu imigrasi Indonesia, dan yang kedua di pintu imigrasi Malaysia. Masuk  ke wilayah Malaysia tidak memerlukan Visa, sebagai bentuk kerja sama negara ASEAN. Dulu pernah dikenakan biaya fiskal, tapi sekarang sudah tidak lagi. Setelah melewati dua gerbang ini, kamipun naik kembali ke bis untuk melanjutkan perjalanan ke pusat kota Kuching. Dari wilayah perbatasan Tebedu ini, masih diperlukan kurang lebih satu jam untuk mencapai pusat kota Kuching.



Ketika akhirnya sampai di Kuching, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 4 sore waktu setempat. Agenda pertama setelah sampai di Kuching? Makan-makan! Berhubung restoran yang akan kami tuju baru akan buka jam 5 sore, kami sempat berputar-putar dengan bis melihat pemandangan kota Kuching. Dari banyak segi, menurut  saya kota ini jauh lebih maju dari Pontianak, atau bahkan kota-kota besar di Indonesia sekalipun dari segi tertentu. Yang paling mencolok adalah soal kebersihan dan tata kota yang rapi dan asri. Boleh dibilang, Kuching merupakan Singapura mini. Jauh dari kesan carut marut yang identik dengan kota-kota di Indonesia. Setelah sightseeing singkat ini, kamipun langsung menuju ke restoran yang sudah di-booking sebelumnya. Ternyata restoran yang kami tuju adalah sebuah restoran Chinese food yang terletak di dekat pasar. Di area ini terdapat cukup banyak tempat makan. Restoran tempat kami menyantap early dinner ini tidak begitu besar. Tapi kelihatannya cukup punya reputasi karena di dalamnya ada panggung pengantin untuk acara resepsi wedding. Mungkin restoran ini cukup terkenal bagi penduduk lokal. The food?  Kalau menurut saya sih, biasa saja. Masih lebih enak masakan ‘cap cai’ ala Pontianak :)



Habis santap malam, kami langsung menuju bandara. Meskipun pesawat yang akan kami naiki ke Kuala Lumpur baru akan terbang jam 8 malam, kami sudah standby di bandara beberapa jam sebelumnya. Saya sudah mempersiapkan diri untuk waktu tunggu seperti ini dengan membawa beberapa buku, dan juga netbook. Maklum, nasib traveller yang gak punya iPad hehe. Peserta tour diberikan kesempatan untuk acara bebas di dalam area bandara oleh tour leader, dengan catatan sudah harus kumpul kembali di jam dan tempat yang sudah disepakati. Kondisi bandara Kuching masih kurang lebih sama dengan beberapa tahun lalu terakhir saya kunjungi. Dua kali terakhir saya singgah di bandara Kuching yaitu tahun 2005 dan 2009. Kali pertama, kondisi bandara masih tidak jauh beda dengan bandara Supadio di Pontianak dengan design arsitektur tipikal gedung-gedung lama di Indonesia. Tapi kali kedua, bandara yang sudah direnovasi sudah beda jauh kondisinya. Design bandara yang baru jauh lebih bagus dan modern, cukup membuat saya kagum waktu itu. Kali ini yang ketiga pun, meskipun tidak se-surprise dulu, tetap cukup berkesan. Perubahan mencolok yang saya lihat adalah, kehadiran maskapai lokal AirAsia benar-benar dominan. Salah satu pintu masuk ke bandara ini dipasangi iklan AirAsia dengan nuansa merahnya, yang menginformasikan maskapai ini terpilih sebagai budget airline (maskapai murah) terbaik di dunia tiga tahun berturut-turut, 2009-2011. Belakangan perusahaan ini juga ekspansi ke bidang budget hotel dengan brand Tune Hotel. Tune Hotel ini merupakan sponsor resmi seragam para wasit di Premiere League Inggris di musim 2011-2012. Para penggemar bola fanatik juga pasti tahu kalau Boss AirAsia, Mr. Tony Fernandez adalah owner klub sepakbola Inggris, Queens Park Rangers (QPR).






Sempat tergoda untuk ngopi di Starbucks sambil surfing internet, saya akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan di area luar pintu bandara untuk melihat sunset. Benar-benar keputusan yang tepat karena sunset sore itu sangat indah. Sambil foto-foto, saya benar-benar menikmati pemandangan dan suasana sekitar. Viewing point saya terletak di area yang kira-kira setinggi lantai tiga, perfect untuk menikmati sunset. Di bawah, area parkir mobil bandara tersusun dengan rapi dan saya melihat beberapa fotografer juga asik mengabadikan sunset sore itu. Saking asiknya menikmati suasana, tanpa terasa waktu sudah menjelang malam. Saya pun masuk kembali ke ruang duduk di bandara untuk langsung meng-backup foto-foto ‘berharga’ yang barusan saya ambil ke dalam netbook. 


Tak lama kemudian kami sudah diminta untuk berkumpul kembali untuk menerima boarding pass dari tour leader. Fasilitas self check-in yang ada di bandara memang sangat memudahkan. Jadi check-in bisa dilakukan oleh tour leader saja dengan mengumpulkan passport peserta tour. Berikutnya, tinggal menuju ke counter AirAsia untuk check-in bagasi. Setelah semua bagasi beres, kami menuju waiting room, yang sebenarnya hanya berupa satu lorong panjang yang diberi tempat duduk di tepi. Jadi bukan satu ruang tunggu khusus yang terpisah-pisah. Belum begitu lama menunggu, kami langsung dapat kabar baik, pesawat yang akan kami naiki delay! Meskipun hanya delay sekitar setengah jam, akan menyebabkan jam tiba di Kuala Lumpur semakin larut. Waktu terbang antara Kuching dan Kuala Lumpur sekitar dua jam. Daripada kesal dengan keadaan yang tidak bisa diubah, saya memutuskan untuk menunggu sambil baca saja. Ketika akhirnya masuk ke pesawat, sudah jam 9 lewat, yang artinya akan tiba di Kuala Lumpur kurang lebih jam 11 malam! 

Di dalam pesawat, percobaan untuk tidur kurang berhasil. Jadi ketika pilot mengumumkan bahwa tidak lama lagi pesawat akan landing di bandara KLIA Kuala Lumpur, saya benar-benar bernafas lega. Begitu tiba di bandara, kami masih harus menunggu bagasi dan setelah itu naik bis untuk check-in ke hotel untuk bermalam. Sebenarnya istilah bermalam kurang tepat, karena waktu sampai di hotel, sudah lewat tengah malam alias sudah ganti hari! Masih harus menunggu beberapa saat untuk pembagian kunci kamar, akhirnya kami resmi memasuki kamar untuk tidur kurang lebih jam 1 subuh. Besok pagi, morning call jam 4:30 karena pesawat yang akan kami naiki menuju kota Tianjin di China terbang jam 08:00. Batas check-in untuk penerbangan internasional adalah dua jam sebelumnya, yang artinya kami sudah harus tiba di bandara sebelum jam 06:00. Jadi malam ini, ehm..maksud saya pagi ini kami hanya punya waktu untuk beristirahat kurang lebih 3 jam.  Jadi begitu mendapat kunci kamar, saya langsung ‘terbang’ ke dalam kamar, cuci muka, gosok gigi dan mencoba untuk tidur secepatnya! (yeah right, maunya sih). Gak lucu kalau sampai di Tianjin dalam keadaan setengah sadar, berhalusinasi dan tidak bisa menikmati tour. Lupakan soal mandi! Mandi besok pagi saja, ehm...nanti saja setelah jeritan morning call dari receptionist beberapa jam lagi.

And that, ladies and gentlemen, adalah akhir skenario hari pertama!


- SW -