Saturday, May 17, 2014

China Trip - Day 4: Beijing Part Two

Another day in Beijing. Hari ini bakal menarik sekaligus menantang karena kami akan mencoba untuk menaklukkan Tembok Besar China! Tapi itu bukan di jadwal pertama tour. Jadwal pertama hari ini adalah mengunjungi Temple of Heaven, yang letaknya tidak jauh dari Hotel Peixin. Seperti biasa pagi itu kami breakfast di hotel dulu sebelum berangkat tour. Karena jaraknya yang cukup dekat, perjalanan naik bis ini hanya sebentar. Kuil ini merupakan tempat Kaisar di jaman Dinasty Ming dan Qing berkunjung untuk berdoa memohon berkat untuk panen setiap tahun. Bagian depan kuil ini merupakan area taman yang cukup luas. Pagi itu udara cukup sejuk dan segar, di tempat ini sudah ramai dengan para manula yang berolahraga. Menurut Ms. Eka, para manula ini rutin berolahraga dan berkumpul di sini. Di sepanjang jalan menuju kuil ini memang cukup banyak pemandangan menarik. Ada beberapa orang yang sedang berlatih Tai Chi. Di suatu bagian taman, puluhan orang berkumpul untuk menarikan tarian Tibet dengan iringan musik tradisionalnya. Setelah melewati bagian ini, kami memasuki lorong yang merupakan jalan menuju ke area kuil. Di sepanjang lorong ini para manula asyik bermain kartu, catur China dan berbagai permainan yang lain. Mereka kelihatan benar-benar menikmati suasana. Jelas sekali tempat ini merupakan surga bagi para pensiunan ini. Yang lucu, ada papan peringatan yang bertuliskan larangan untuk merokok, tapi saya sempat melihat beberapa orang kakek yang asyik merokok layaknya perokok kelas berat hehe...



Dari lorong ini kami memasuki satu gerbang lagi untuk masuk ke area kuil. Area kuil ini juga cukup luas dan terdiri dari beberapa bangunan antara lain ‘The Hall of Prayer for Good Harvest’, yakni bangunan bundar dengan tiga tingkatan atap yang melambangkan langit, manusia dan bumi. Bangunan ini merupakan icon yang fotonya banyak dipakai di media promosi pariwisata China. Bangunan lain, ‘The Imperial Vault of Heaven’, bentuknya menyerupai yang pertama tapi hanya satu tingkat dan ukurannya lebih kecil, letaknya di selatan ‘Hall of Prayer’. Dan yang ketiga, ‘Circular Mount Altar’. Tapi kunjungan kami kali ini hanya melihat-lihat di bangunan yang pertama saja. Setelah puas foto-foto, yang dilengkapi dengan foto rombongan, kamipun berjalan kembali ke pintu keluar kuil untuk berangkat ke tujuan tour berikutnya.
Temple of Heaven
Dari Temple of Heaven, kami dibawa ke tempat yang mungkin cukup pas kalau dibilang pabrik batu jade. Meskipun penampilannya seperti toko perhiasan super luas, di tempat ini juga dilakukan pekerjaan teknis seperti pemahatan dan pengukiran batu jade. Kita bisa melihat langsung bagaimana batu jade dipahat dan dibentuk oleh seorang pekerja. Ada juga meja khusus untuk mengukir batu jade yang telah kita beli, tanpa dikenakan biaya alias gratis. Meskipun mayoritas menjual hiasan yang terbuat dari batu jade, ada merchandise lain juga yang dijual seperti kain tenun, vas bunga, lukisan dan lain-lain. Yang istimewa dari tempat ini adalah harga barang-barangnya. Ada satu patung beruang salju yang ukurannya cukup mini, tapi harganya jauh dari mini: 7800 Yuan atau sekitar Rp 11.700.000! (Yuan/Ren Min Bi (RMB) = mata uang RRC, kurs waktu itu 1 Yuan = Rp 1500). Dan ada bola kristal yang di dalamnya terdapat bola yang mungkin terbuat dari batu jade, berlukiskan gambar tradisional khas China, harganya 12.000 Yuan! Masih ada barang-barang lain yang jauh lebih mahal. Ada satu pajangan yang ukurannya cukup besar berbentuk sayur kol yang harganya berkali-kali lipat dari ini. Saya sampai bertanya dalam hati, emang ada yang beli? Tapi rasanya kemungkinan kecil mereka akan membuat sedemikian banyak  pajangan dari batu jade jika tidak ada pasarnya. 
Dan kalau Anda berpikir itu adalah puncaknya, think again mate. Puncak kunjungan ke istana jade ini adalah ketika kami sedang berjalan menuju pintu keluar, saya melihat sebuah kotak kaca ukuran cukup besar yang berfungsi sebagai kotak sumbangan. Saya lupa untuk sumbangan apa, tapi kotak tersebut sudah cukup penuh berisi uang kertas Yuan. Ketika sedang iseng memperhatikan kotak tersebut, saya terkesima dengan suatu pemandangan yang yang tidak lumrah. Di antara sesaknya uang kertas Yuan yang memenuhi kotak tersebut, terselip satu lembar uang kertas yang cukup familiar...yang bergambar foto diri Kapitan Pattimura! Ladies and gentlemen: jauh-jauh ke China, ada dermawan yang nyumbang Rp. 1000! (Baca: SERIBU RUPIAH) Luar biasa....
The super exclusive 'Rupiah' among Yuan
Keluar dari tempat ini kami menuju ke restoran untuk makan siang. Restoran ini terletak di lantai dua dari sebuah gedung yang lantai satunya merupakan tempat penjualan macam-macam barang pajangan/hiasan yang sangat luas. Setelah makan siang, akhirnya kami menuju ke tempat yang sudah ditunggu-tunggu, Great Wall alias Tembok Besar China. Ketika akhirnya sampai di tempat yang letaknya cukup jauh dari pusat kota ini, hari sudah siang menjelang sore. Agenda pertama setelah sampai di sini, foto group. Setelah itu, bagi yang mampu atau merasa mampu, dipersilahkan untuk mendaki tembok termahsyur ini. Menurut tokoh legendaris Mao Ze Dong, siapa yang belum mendaki tembok China tidak bisa menyebut dirinya pahlawan. Atribut pahlawan sih tidak terlalu saya pusingkan, tapi berhubung sudah sampai di sini, rasanya tidak sah kalau saya tidak mencoba untuk mendaki. Jadi saya putuskan untuk naik ke atas juga, meskipun kondisi fisik saya waktu itu kurang begitu fit. Baru menaiki puluhan anak tangga, yang ukurannya tidak sama besar dan ada yang sudah terkikis, kaki saya sudah mulai terasa pegal, tapi saya putuskan untuk lanjut terus sampai mencapai area yang cukup luas untuk beristirahat sejenak. 

Dalam proses mendaki ini, saya dilewati oleh seorang anak kecil asal Indonesia yang paling banter berusia 6 tahun. Super junior ini masih sempat-sempatnya teriak-teriak ke Mamanya yang masih tertinggal di bawah: “Mama...ayo kita lomba siapa dulu yang sampai ke atas. Adek lebih cepat dari Mama, padahal Adek bawa iPhone lho!” (sambil nepuk-nepuk kocek celananya)....Dalam hati saya: “Snob…” Gak lama kemudian sang Mama nyusul sambil ngos-ngosan. Ok, dilewati anak kecil arogan sama ibu-ibu...no problem...biar lambat asal selamat sampai ke atas. Ketika akhirnya sampai di atas, rasanya sangat susah bagi saya menahan diri untuk tidak menyanyikan lagu Hallelujah nya Handel. Cuma sayang tidak ada iringan musik megah dan saya tidak hafal liriknya. So saya ganti saja dengan ucapan dalam hati: “Hallelujah!”. Benar-benar lega dan puas. Sambil mencoba untuk mengatur nafas kembali ke normal, saya maksimalkan untuk menikmati pemandangan dari atas. Berhubung waktu itu berkabut, pemandangan yang bisa dilihat tidak bisa dibilang indah. Pegunungan di sekitar tembok hanya terlihat samar-samar, pemandangan di bawah juga biasa saja, bangunan dan rumah di kaki gunung yang kurang berwarna. 
The Great Wall
Ternyata di atas sini ada pintu untuk masuk ke suatu ruang. Mungkin tempat ini dulunya dipakai para prajurit untuk beristirahat. Penasaran apa yang ada di dalam, saya putuskan untuk memasuki ruang itu. Di dalam tidak ada yang istimewa, gelap dan hanya ada beberapa jendela untuk melihat keluar. Dan ternyata, di ujung ruang ini ada pintu keluarnya. Ternyata lagi, setelah melewati pintu keluar ini, masih ada jalan dan ratusan anak tangga menuju puncak berikutnya! Ternyata saya baru mencapai salah satu puncak, masih ada puncak di atas puncak!!  Setelah termenung bercampur kecewa, sempat terlintas dalam pikiran saya selama beberapa detik, tidak lama, hanya beberapa detik: “Naik lagi gak ya?” Tapi segera niat itu saya buang jauh-jauh menimbang kondisi kaki dan badan yang sudah tidak bisa diajak kerja sama. Yah, paling tidak saya mencapai salah satu puncak. Dari rombongan tour kami tidak ada satupun yang naik sejauh ini, maklum..rata-rata sudah lansia. Belum selesai saya menghibur diri, tiba-tiba rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu dari tour kami sudah menyusul ke atas. Salah satu dari bapak-bapak ini adalah seorang kakek berusia 82 tahun! Rasa bangga pun pudar...dan kemudian hilang sama sekali ditelan bumi...ketika dari puncak berikutnya di atas, seorang wanita bule turun sambil menggendong bayi perempuannya....
My pride...completely gone...
Daripada meratap, saya putuskan untuk menikmati suasana di puncak sambil menghirup udara pegunungan yang segar...ehm...dingin...ternyata sebelum mencapai anak tangga untuk naik ke puncak berikutnya..ada turunan menuju ke sebuah gift shop. Saya putuskan untuk turun ke sana melihat-lihat. Gift shop ini ukurannya tidak terlalu besar, tapi ada beberapa meja dan bangku untuk beristirahat. Di sini kita bisa membeli medali “emas” yang bisa diukir nama kita untuk kenang-kenangan mencapai puncak. Ada juga model penghargaan lain berupa plat nama warna emas. Selain itu juga dijual aneka macam merchandise bertema Tembok Besar. Saya putuskan untuk beli t-shirt seharga 40 Yuan, atau sekitar Rp 60 ribu. Not exactly cheap, but it’s ok lah, udah naik sejauh ini. Iseng-iseng untuk konfirmasi saja, saya bertanya ke salah satu penjaga toko: “Kalian setiap pagi naik ke sini untuk jaga toko?”. Dia menjawab dengan enteng: “Iya.”. Saya cuma bisa nelan ludah.. (sekedar info, semua penjaga tokonya wanita)

Dari sini dimulailah perjalanan untuk menuruni tembok. Seperti yang saya bilang sebelumnya, ukuran anak tangga yang besar kecil bercampur rusak bisa sangat membahayakan jika kita tidak hati-hati. Jadi pelan-pelan saya menuruni tembok sampai mencapai satu area penghubung antar anak tangga yang cukup luas untuk beristirahat atau foto-foto. Saya putuskan untuk break beberapa menit di sini sebelum turun lagi. Saya perhatikan di dinding tembok ternyata banyak “karya seni”, coretan-coretan pen, spidol dan sejenisnya sebagai tanda yang bersangkutan pernah singgah ke Tembok Besar. Kebetulan di dekat tempat saya berdiri ada yang ditulis dengan huruf Korea disertai tanggal 2011.10.15 – 15 Oktober 2011. Korean vandals! Dasar perusak! Kemudian..persis di bawahnya...dengan huruf yang lebih besar..tertulis: 28-05-2011 SUKABUMI...Saya langsung speechless....Sudahlah..daripada mikirin para vandal ini..nobody cares anyway...lebih baik saya manfaatin waktu dan tenaga untuk foto-foto saja. Setelah puas foto-foto, saya pun berjalan turun untuk bergabung kembali dengan rombongan tour. 
'Prasasti' turis Indonesia di Great Wall
Waktu sudah semakin sore dan berikutnya makan malam terakhir kami di kota Beijing adalah menunya yang sudah termahsyur: Beijing Kao Ya alias Bebek Panggang Beijing. Saya bukan penggemar berat daging bebek, tapi tetap harus mencoba yang satu ini. Di Indonesia juga ada, tapi beda lah kalau makan di tempat asalnya. Tapi sebelum dinner kami dibawa dulu ke Jalan Wangfujing - Pasar Malam Donghuamen. Ketika sampai di tempat ini hari sudah malam. Di area ini terdapat deretan pertokoan, dan di seberang jalan terdapat sederetan panjang stand yang menjual segala jenis makanan. Saya sempat mencoba ikan bakarnya, yang sayangnya..terlalu asin. Suasana di sini cukup menarik, pengunjung ramai dan lampu warna-warni menghiasi sepanjang jalan. Dari sini kami dibawa ke ‘The Great Wall Restaurant’ untuk makan malam. Mungkin karena malam terakhir, kami diberi ruang khusus dan menu yang disajikan juga lebih spesial, selain bebek panggang. Pokoknya makan malam yang cukup memuaskan. Tapi berhubung saya bukan master chef ataupun pakar kuliner, saya gak bisa komentar banyak soal rasa bebek panggang resep original Beijing. Yang jelas daging yang diiris tipis ini memang rasanya sangat kaya, atau istilah Inggrisnya ‘rich flavour’. Setelah kenyang makan malam, kami pun pulang kembali ke hotel untuk beristirahat. Besok pagi-pagi sudah harus bangun karena akan berangkat ke Shanghai dengan bullet train (kereta cepat) yang pertama. Tidak terasa, selesai sudah perjalanan di Beijing. Cukup banyak kenangan selama di kota ini, meskipun singgah tidak lama. I will miss this city indeed. Good night Beijing, and goodbye. Sampai ketemu lagi di perjalanan berikutnya. I’m sure we’ll see each other again!
Wangfujing Street
- SW -

No comments:

Post a Comment